Kategori

Pengertian Pemungutan Sura / Voting

PEMUNGUTAN SUARA  / VOTING


Pemungutan suara / atau Voting adalah pengumpulan suara dari beberapa pendapat untuk menentukan pilihan. Pemungutan suara bagian dari Demokrasi, bahwa setiap orang / anggota berhak untuk menentukan pilihannya. Pemungutan suara dilakukan dengan dua macam cara, Pemungutan suara secara terbuka dan tertutup.

Berbagai sistem dan perundang-undangan pemilihan diperlukan dalam pelaksanaan pemi-lihan itu. Keduanya mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Frekuensi: jadwal yang pasti untuk pemilihan sebagaimana terjadi di AS atau pemilihan yang harus diselenggarakan dalam periode waktu yang tetap (terjadi di Inggris)
  2. Tujuan: untuk memilih anggota badan legislatif lokal, regional dan nasional dan kepala negara; pemilihan-pemilihan juga dapat diselenggarakan untuk menetapkan masalah-masalah kebijakan, melalui referendum, atau pencalonan melalui pemilihan pendahuluan.
  3. Eligibilitas: pada dasarnya semua negara membatasi hak suara hanya pada warga negara dewasa, kendati negara-negara tersebut berbeda dalam menetapkan kriteria tentang kedewasaan dan kewarganegaraan.
  4. Registrasi: para pemberi suara harus diregistrasikan pada daftar atau register pemilih; registrasi di AS lebih rumit daripada di negara-negara lain.
  5. Bobot suara: sampai sebatas mana sistem menghitung satu orang, satu suara, satu nilai itu bergantung pada tipe sistem pemilihan dan ukuran konstituensi.
Kajian tentang perilaku pengambilan suara mendalami beberapa tahap dan menggunakan berbagai pendekatan. Berikut ini beberapa model, berasal dari berbagai latar belakang intelektual, yang meliputi pendekatan historis, data agregat, sosiologi, identifikasi partai, dan isu pemungutan suara.

Pertama, pendekatan historis memandang bahwa seringkali dilupakan kenyataan para pemberi suara disodorkan pada pemilihan dengan suatu pilihan partai yang tetap: ini semua adalah produk kekuatan historis yang telah lama ada sebelum lahirnya para pemilih masa kini. Karya penting dari Lipset dan Rokkan (1967) menelusuri asal-usul berbagai sistem banyak partai hingga ke peristiwa-peristiwa bersejarah yang paling penting seperti Reformasi dan Kontra-Reformasi, revolusi industri, fase-fase awal pembentukan suatu negara dan revolusi Perancis. Peristiwa-peristiwa formatif ini menimbulkan berbagai sistem kepartaian yang berbeda satu sama lain berdasarkan keterikatan pada agama, kepentingan kelas, dan loyalitas kepada pusat versus pinggiran (periferi). Setelah terjadinya berbagai peristiwa ini, sebagian partai mampu terus bertahan dalam berbagai keadaan yang menumbuhkannya. Mereka beradaptasi dengan berbagai kepentingan dan isu baru dan mensosialisasi para pemberi suara agar memberikan suara mereka kepada partai-partai itu.

Kedua, pendekatan data agregat (yang terkumpul) menganalisis data sensus untuk unit tertentu (entah itu berupa wilayah, anggota-anggota perwakilan atau daerah pemilihan) untuk membangun korelasi-korelasi antara berbagai faktor sosial yang dominan di kalangan penduduk dan kekuatan suatu partai. Pendekatan ini mengalami kemapanan di Amerika Serikat dan Perancis dalam dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20 dan Andre Siegfried mempergunakannya untuk menjelaskan pembagian geografis Perancis menjadi wilayah-wilayah bergaris politik kiri dan kanan. Pendekatan ini akan lebih bermanfaat bila unit yang dikaji memiliki ciri sosial yang mencolok (misalnya komunitas pertambangan atau pertanian). Masalahnya adalah bagaimana memindahkan korelasi data agregat ke korelasi data individual.

Ketiga, pendekatan sosiologi, yang meng-gunakan survai-survai sampel untuk mewawancarai para pemberi suara, dirintis di Amerika Serikat pada tahun 1940-an (Lazarsfeld et. al. 1948) dan memungkinkan dilakukannya kajian-kajian terhadap para pemberi suara individu. Karya ini menunjukkan bahwa faktor-faktor latar belakang sosial seperti kelas, agama dan tempat tinggal mendorong banyak orang untuk memilih partai Republik atau Demokrat. Pendekatan ini juga berguna untuk menunjukkan sampai batas mana partai-partai itu mampu membentuk kelompok-kelompok pendukung yang terpadu. Di Inggris kajian perintis yang dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969) menunjukkan arti pentingnya kelas sosial dan agama dalam membentuk basis dukungan partai.

Keempat, pendekatan identifikasi partai, yang dipinjam dari disiplin psikologi, dikembangkan oleh Angus Campbell (1960) dan kolega-koleganya di Universitas Michigan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar pemberi suara di Amerika Serikat terikat dengan suatu partai politik; mereka memiliki identitas partai, yang sering diwarisi dari orang tua mereka, dan diperkuat dengan pekerjaan, kelas dan lingkungan tetangga mereka. Kenyataan itu menjadi penguat untuk melestarikan perilaku pemberi suara. Pendekatan identifikasi partai pernah memiliki pengaruh besar terhadap kajian-kajian mengenai pemilihan, penelitian antar bangsa dan tipologi pemilihan yang sedang berkembang. Di Amerika Serikat pada tahun 1970-an dan 1980-an identifikasi mengalami kemunduran dalam meramalkan perolehan suara partai. Meskipun para tokoh partai Demokrat memperoleh pedoman yang jelas mengenai identifikasi terhadap para tokoh partai Republik mendapatkan gambaran yang jelas tentang identifikasi para Republik, tapi tetap saja mereka selalu mengalami kekalahan dalam pemilihan presiden. Konsep ini juga berguna membantu membangun [perolehan] suara bagi suatu partai.

Kelima, pendekatan voting isu, diilhami oleh Downs (1957) dan diterapkan oleh Himmelweit dan Jaeger (1985). Pendekatan ini menekankan arti penting preferensi-preferensi isu bagi pemberi suara. Menurut Himmelweit, yang menyebutnya dengan istilah consumer model voting, preferensi-preferensi isu yang dibangkitkan oleh kekuatan identifikasi partai dan kebiasaan memberikan suara kepada satu partai tertentu merupakan penentu keputusan dalam memberikan suara. Para peneliti menspesifikasi tiga syarat bagi isu voting: pemberi suara harus menyadari isu itu, peduli terhadap isu itu, dan mempersepsi partai-partai sebagai sisi pandang yang berbeda terhadap isu itu, dengan satu partai yang mewakili preferensi isu tersebut. Jika identifikasi partai mengarah pada voting ekspresif, maka pilihan rasional mengarah pada voting instrumental. Kajian-kajian awal mengenai voting menunjukkan sikap apatis dan tidak mau tahu dari banyak pemberi suara dan membuktikan bahwa hanya ada sekelompok pemberi suara minoritas saja yang memenuhi syarat-syarat isu voting itu. Namun penelitian lebih mutakhir, yang membolehkan para pemberi suara menyatakan isu-isu penting mereka sendiri, menemukan bahwa isu voting itu memiliki jangkauan yang lebih luas.