Kategori

sejarah Yahudi dan Konflik Israel - Palestina


berbicara soal konflik modern Israel-Palestina mungkin bisa dirunut hingga akhir abad ke-19, sebelum pecahnya Perang Dunia I. Saat itu, Timur Tengah merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki selama lebih dari 400 tahun. Menjelang akhir abad ke-19, Palestina atau saat itu disebut Suriah Selatan dipecah menjadi Provinsi Suriah, Beirut, serta Jerusalem oleh penguasa Ottoman.

Saat itu Palestina didominasi warga Arab Muslim dengan sedikit warga Kristen Arab, Druze, Sirkasian, 
dan Yahudi. Meski hidup di bawah penjajahan bangsa Turki, tetapi kehidupan di kawasan ini bisa dikatakan jauh dari konflik dan kekerasan.

Sementara itu, nun di Benua Biru, warga Yahudi yang banyak tersebar di Eropa Tengah dan Eropa Timur sudah sejak lama memimpikan "kembali ke Zion" atau sederhananya adalah kembali ke tanah yang dijanjikan Tuhan. Namun, imigrasi ke Palestina atau yang mereka sebut sebagai Tanah Israel baru dilakukan secara sendiri-sendiri atau kelompok-kelompok kecil dan niat mendirikan sebuah negara Yahudi belum tebersit.

Niat mendirikan negara Yahudi muncul sekitar 1859-1880 ketika gelombang anti-Semit mulai melanda Eropa dan Rusia. Inilah yang memicu terbentuknya Gerakan Zionisme pada 1897. Gerakan ini menginginkan pembentukan sebuah negara Yahudi sebagai suaka untuk semua bangsa Yahudi di berbagai pelosok dunia. Kelompok ini pernah mempertimbangkan beberapa lokasi di Afrika dan Amerika sebelum akhirnya memilih Palestina sebagai tujuan akhir.


Kongres Zionis Pertama di Swiss 1897.
Kongres inilah yang akhirnya membentuk Gerakan Zionisme
yang menjadi awal cita-cita pembentukan Negara Yahudi.
Seperti disinggung di atas, Palestina saat itu masih berupa kawasan yang menjadi kekuasaan Kekaisaran Ottoman Turki. Gerakan Zionisme yang didukung Dana Nasional Yahudi kemudian mendanai pembelian tanah di Palestina yang masih menjadi jajahan Ottoman Turki untuk pembangunan permukiman para imigran Yahudi. Gelombang imigrasi Yahudi, setelah terbentuknya Organisasi Zionis Dunia, kini menjadi lebih terorganisasi dengan tujuan yang jauh lebih jelas di masa mendatang.

Pada awalnya, imigrasi warga Yahudi ke Palestina tidak menimbulkan masalah di Palestina. Namun, dengan semakin banyaknya imigran Yahudi yang datang, semakin banyak pula tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan permukiman. Konflik dan sengketa perebutan tanah tak jarang terjadi antara kedua bangsa ini.

Semakin meningkatnya jumlah imigran Yahudi di Palestina ternyata juga membuat Kekaisaran Ottoman khawatir. Namun, kekhawatiran mereka lebih didasari fakta bahwa kebanyakan imigran Yahudi itu datang dari Rusia yang adalah musuh utama Ottoman dalam perebutan kekuasaan di kawasan Balkan.

Ottoman khawatir para pendatang Yahudi dari Rusia ini akan menjadi perpanjangan tangan negeri asalnya untuk melemahkan kekuasaan Ottoman di Timur Tengah. Sehingga, kekerasan pertama yang menimpa para imigran Yahudi pada 1880-an di Palestina—khususnya yang dilakukan Turki Ottoman—adalah karena mereka dianggap sebagai bangsa Rusia atau Eropa, bukan karena mereka adalah Yahudi.

Langkah menentang imigran Yahudi pun dilakukan para penduduk lokal, khususnya warga Arab. Mereka mulai memprotes akuisisi tanah oleh pendatang Yahudi. Atas aksi protes ini akhirnya Kekaisaran Turki Ottoman menghentikan penjualan tanah kepada para imigran dan orang asing. Meski demikian, pada 1914 jumlah warga Yahudi di Palestina sudah berjumlah 66.000 orang, separuhnya adalah para pendatang baru

Ketika Perang Dunia I pecah (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.

Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.

Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.

Inti dari surat-menyurat yang terjadi antara 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab. 

Foto Menlu Inggris 1916-1919, 
Arthur James Balfour dan Deklarasi Balfour (1917) 
yang dianggap sebagai batu penjuru 
berdirinya sebuah negara untuk bangsa Yahudi
Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.

Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.

Kemudian Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.

Dengan isi yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.

Mandat Palestina

Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan Kekaisaran Ottoman Turki.

Pembagian ini meliputi wilayah Mandat Perancis seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Inggris menempatkan Faisal—putra pemimpin Mekkah Hussein bin Ali—sebagai Raja Irak. 

Sedangkan Palestina dibagi dua. Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada Abdullah—putra lain Hussein bin Ali. Sedangkan bagian barat yang tetap dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.

Selama masa Mandat Palestina ini, imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh secara signifikan. Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa, misalnya di Ukraina yang mengakibatkan setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh pada 1905. 

Antara 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi tiba di Palestina, mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.

Tak jarang pembelian tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat warga Arab Palestina merasa disingkirkan. Situasi ini ditambah keinginan menentukan nasib sendiri, semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme Palestina.

Selain itu, warga Arab Palestina menentang gelombang imigrasi Yahudi ini karena mereka khawatir, semakin banyaknya warga Yahudi akan mengancam identitas nasional mereka. 

Akibatnya, sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina memanas dan bentrok kekerasan antara kedua kubu semakin sering terjadi

Pada 1920, Ulama Utama Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni (1897-1974) menjadi pemimpin gerakan Palestina Arab dan memainkan peranan penting dalam gerakan-gerakan awal menentang Deklarasi Balfour dan imigrasi masif Yahudi ke Palestina. 

Namun, kerusuhan besar pertama di wilayah Mandat Palestina terjadi pada 1-7 Mei 1921 yang dikenal dengan Kerusuhan Jaffa. Awalnya kerusuhan ini adalah antardua kelompok Yahudi yang kemudian melebar hingga melibatkan kelompok penduduk Arab.

Kerusuhan ini berawal saat Partai Komunis Yahudi pada 1 Mei 1921 mengajak bangsa Arab dan Yahudi untuk menggulingkan kekuasaan Inggris di Palestina dan mendirikan sebuah negara Palestina yang berafiliasi dengan Uni Soviet.

Partai menyampaikan niat ini dalam sebuah parade dari kota Jaffa ke Tel Aviv saat merayakan Hari Buruh Sedunia atau May Day. Parade ini melintasi sebuah perkampungan bernama Manshiyya yang berpenghuni campuran Arab dan Yahudi.

Ternyata ada parade May Day lain yang dilakukan kelompok pesaing dari Tel Aviv, Ahdut HaAvoda. Kelompok ini melakukan parade tanpa memberitahu polisi. Saat kedua kelompok bertemu, bentrokan tak terelakkan.

Polisi berusaha memisahkan sekitar 50 orang pengunjuk rasa komunis. Sementara warga Arab Kristen dan Islam ikut campur untuk membantu polisi melawan orang Yahudi. Insiden ini dengan cepat menyebar ke bagian selatan kota.

Warga Arab di Jaffa mengira terjadi pemukulan terhadap saudara-saudaranya sambil membawa berbagai senjata menyerang permukiman Yahudi. Selanjutnya kerusuhan berlanjut selama beberapa hari di beberapa kota, seperti Rehovot, Kfar Sava, Petah Tikva, dan Hadera. 

Kerusuhan itu berakhir pada 7 Mei 1921 dan mengakibatkan 47 orang Yahudi serta 48 orang Arab tewas. Selain itu, 146 orang Yahudi dan 73 Arab terluka. Ribuan warga Yahudi Jaffa akhirnya meninggalkan kota itu dan mencari perlindungan di Tel Aviv yang pada saat itu masih didominasi tenda dan rumah-rumah sementara di tepi pantai.

Salah satu akibat dari kerusuhan Jaffa ini adalah pembentukan Haganah—pasukan para militer Yahudi. Haganah inilah yang menjadi cikal bakal angkatan bersenjata Israel kelak.

Kerusuhan Palestina 1929

Insiden ini terjadi pada akhir Agustus 1929, akibat dari perebutan Tembok Barat Jerusalem antara kelompok Arab dan Yahudi yang meningkat menjadi aksi kekerasan.

Dalam kerusuhan yang terjadi pada 23-29 Agustus 1929 itu, sebanyak 133 warga Yahudi dan 110 warga Arab tewas serta lebih dari 600 orang dari kedua kubu terluka. Seusai kerusuhan, Pemerintah Mandat Palestina mengajukan para tersangka provokator ke meja hijau.

Dari hasil sidang itu, 26 warga Arab dan dua warga Yahudi terbukti membunuh dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman denda juga dijatuhkan secara kolektif kepada warga Arab di Hebron, Safed, dan sejumlah desa. Denda yang terkumpul kemudian diberikan kepada para korban kerusuhan.

Kerusuhan ini kemudian diselidiki sebuah komisi investigasi yang dibentuk Pemerintah Inggris. Hasilnya, komisi investigasi menyarankan agar Pemerintah Inggris meninjau ulang kebijakan imigrasi dan penjualan tanah kepada bangsa Yahudi.

Setelah kerusuhan 1929, situasi politik di Mandat Palestina, meski tidak mendingin, tetapi relatif terkendali. Hingga pecahlah Revolusi Arab (1936-1939) di Palestina yang bertujuan menentang kekuasaan Inggris dan mencegah imigrasi Yahudi yang kembali masif. 

Revolusi itu sendiri berakhir dengan kegagalan dan korban jiwa yang besar. Akibat revolusi tiga tahun 
Revolusi Arab (1936-1939)
itu, 300 orang Yahudi, 5.000 warga Arab, dan 262 polisi Inggris tewas. Selain itu, lebih dari 15.000 orang luka-luka. Meski gagal, revolusi ini memberi dampak signifikan bagi warga Yahudi, Arab, dan penguasa Inggris




Sebuah bus dilengkapi besi pelindung 

untuk mencegah batu dan barang-barang lain

yang dilemparkan oleh kelompok revolusioner Arab 

yang mengincar warga Yahudi.



 Konflik terbesar dalam sejarah Mandat Palestina adalah apa yang disebut dengan Revolusi Arab (1936-1939). Revolusi ini dipimpin Imam Besar Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni.

Konflik ini diawali terbunuhnya seorang ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam, pada November 1935. Al-Qassam memang dikenal sebagai seorang ulama yang anti-Inggris dan anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan militer.

Pada November 1935, dua anak buah al-Qassam terlibat bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Akibatnya, polisi memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya'bad, Tepi Barat. Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di Palestina.

Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat. 

Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa bulan sebelum Revolusi Arab Pecah. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas.

Revolusi Arab benar-benar dimulai pada 15 April 1936, ketika konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan menewaskan dua warga Yahudi. Sehari setelah serangan itu, kelompok bersenjata Yahudi balas menyerang dan membunuh dua pekerja Arab di dekat Petah Tikva. Aksi saling balas terus meluas dan sejumlah jenderal Arab menyatakan perang. 

Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina mendapat bantuan dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939. Akibat revolusi ini, 5.000 warga Arab, lebih dari 300 warga Yahudi, dan 262 tentara Inggris tewas. Selain itu, sedikitnya 15.000 warga Arab terluka.

Imam Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Nazi Jerman.

Dampak Revolusi Arab

Apa dampak Revolusi Arab yang gagal ini dalam perkembangan Palestina? 

Selama upaya dan seusai memadamkan Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu.

Salah satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah Komisi Peel (1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua negara. Komisi ini mengusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab.

Negara Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania, dan Negev.

Para pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi dua negara ini.

Pada Mei 1939—beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah—Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina. 

Kali ini adalah solusi satu negara Palestina. Di mana dalam jangka pendek Pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa memasuki Palestina. Di masa depan, jumlah kuota ini akan ditentukan pemimpin Arab.

Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi membeli tanah dari warga Arab demi mencegah gesekan sosial antara kedua kubu. Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina berakhir yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II.

Perang Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan Eropa. Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan tersebut.

Perang Dunia II pecah
ditandaiblitzkrieg atau serbuan kilat pasukan Nazi Jerman ke Polandia, 1 September 1939. Sebelum Polandia, Jerman terlebih dulu menduduki Austria dan Cekoslovakia.

Salah satu babak paling kelam dalam Perang Dunia II adalah praktik Holocaust atau pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Sejarah mencatat, 6 juta orang Yahudi tewas dibantai di seluruh penjuru Eropa.
Bagian depan kamp konsentrasi Auschwitz,
Polandia yang digunakan Nazi Jerman
untuk memusnahkan bangsa Yahudi
antara 1942-1944. Saat disidang di Nuerenberg,
 Komandan Kamp Auschwitz,
Rudolf Hess mengatakan setidaknya
 tiga juta orang Yahudi tewas di kamp itu
baik karena kelaparan atau dibunuh



Kekejaman Nazi Jerman pimpinan Hitler ini membuat semakin banyak warga Yahudi ingin meninggalkan Eropa menuju ke Palestina. Namun, niatan itu terhalang karena kebijakan Inggris yang beberapa bulan sebelum perang pecah menerbitkan apa yang disebut dengan White Paper 1939.

Buku putih ini adalah solusi lain dari hasil rekomendasi solusi dua negara Palestina—seperti tercantum dalam rekomendasi Komisi Peel 1937—yang ditolak kedua pihak. Dokumen ini pada intinya adalah Inggris mempersiapkan sebuah negara Palestina yang akan dikelola warga Arab di kemudian hari.

Selain itu, dokumen White Paper ini juga membatasi jumlah dan imigrasi warga Yahudi ke Palestina. Sesuai dokumen ini, jumlah imigran Yahudi ke Palestina akan dibatasi hanya 75.000 orang hingga 1944. Rinciannya adalah kuota 10.000 imigran per tahun dan bisa menjadi 25.000 orang jika dalam kondisi darurat pengungsi.

Dalam bagian lain dokumen itu juga dijelaskan bahwa di masa depan, imigrasi bangsa Yahudi harus mendapatkan izin penduduk mayoritas Arab dan melarang imigran Yahudi membeli tanah dari bangsa Arab.

Imigrasi ilegal

Pemusnahan massal dan sistematis bangsa Yahudi di Eropa membuat sejumlah organisasi Yahudi mencoba melakukan imigrasi ilegal. Setidaknya 100.000 orang Yahudi menggunakan 120 kapal dalam 142 pelayaran mencoba menyelundup ke Palestina.

Namun, Inggris yang menempatkan delapan kapal perangnya untuk memblokade perairan di sekitar Palestina berhasil menggagalkan sebagian besar upaya imigrasi ilegal itu.

Para imigran yang gagal masuk Palestina itu kemudian dibawa dan ditahan di kamp pengungsi di Siprus. Beberapa ribu lainnya ditahan di Palestina dan Mauritius.

Sebanyak 50.000 imigran ditahan Inggris dan sekitar 1.600 imigran tewas tenggelam, serta hanya beberapa ribu orang yang berhasil lolos ke Palestina di masa-masa itu. 
Salah satu insiden terkenal di masa-masa imigrasi ilegal ini adalah insiden kapal Patria. Pada akhir 1940-an, kebijakan Nazi atas bangsa Yahudi adalah mendeportasi mereka dari Eropa ke tempat lain, belum sampai pada taraf memusnahkan.

Untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari Eropa, Nazi Jerman menyewa tiga kapal di Romania, yaitu Atlantic, Pacific, dan Milos, yang secara total mengangkut 3.600 orang Yahudi.

Kapal-kapal ini meninggalkan Pelabuhan Tulcia, Romania, menuju Palestina. Seperti telah diduga, ketiga kapal ini dicegat kapal-kapal perang Inggris dan penumpangnya dipindahkan ke kapal Patria dan akan dibawa ke Mauritius.

Nah, rencana memindahkan warga Yahudi ke Mauritius ini diketahui Haganah—pasukan paramiliter Yahudi di Palestina. Untuk mencegah pemindahan itu, aktivis Haganah memasang sebuah bom kecil di kapal Patria dan berharap bisa merusak mesin kapal itu sehingga kapal itu akan tertahan di Pelabuhan Haifa.

Celakanya, pada saat 130 penumpang terakhir masuk ke Patria, bom meledak dan menimbulkan lubang besar di lambung kapal. Akibatnya, kapal itu tenggelam dengan cepat dan menewaskan 267 penumpangnya.

Meski di masa Perang Dunia II ini imigrasi Yahudi ke Palestina tidak terlalu mudah, tetapi beberapa ribu orang Yahudi masih bisa masuk ke Palestina dan selamat dari pembantaian yang dilakukan Hitler.

Perang Dunia II Pecah,
ditandaiblitzkrieg atau serbuan kilat pasukan Nazi Jerman ke Polandia, 1 September 1939. Sebelum Polandia, Jerman terlebih dulu menduduki Austria dan Cekoslovakia.

Salah satu babak paling kelam dalam Perang Dunia II adalah praktik Holocaust atau pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman. Sejarah mencatat, 6 juta orang Yahudi tewas dibantai di seluruh penjuru Eropa.
Bagian depan kamp konsentrasi Auschwitz,
Polandia yang digunakan Nazi Jerman
untuk memusnahkan bangsa Yahudi
antara 1942-1944. Saat disidang di Nuerenberg,
 Komandan Kamp Auschwitz,
Rudolf Hess mengatakan setidaknya
 tiga juta orang Yahudi tewas di kamp itu
baik karena kelaparan atau dibunuh

Kekejaman Nazi Jerman pimpinan Hitler ini membuat semakin banyak warga Yahudi ingin meninggalkan Eropa menuju ke Palestina. Namun, niatan itu terhalang karena kebijakan Inggris yang beberapa bulan sebelum perang pecah menerbitkan apa yang disebut dengan White Paper 1939.

Buku putih ini adalah solusi lain dari hasil rekomendasi solusi dua negara Palestina—seperti tercantum dalam rekomendasi Komisi Peel 1937—yang ditolak kedua pihak. Dokumen ini pada intinya adalah Inggris mempersiapkan sebuah negara Palestina yang akan dikelola warga Arab di kemudian hari.

Selain itu, dokumen White Paper ini juga membatasi jumlah dan imigrasi warga Yahudi ke Palestina. Sesuai dokumen ini, jumlah imigran Yahudi ke Palestina akan dibatasi hanya 75.000 orang hingga 1944. Rinciannya adalah kuota 10.000 imigran per tahun dan bisa menjadi 25.000 orang jika dalam kondisi darurat pengungsi.

Dalam bagian lain dokumen itu juga dijelaskan bahwa di masa depan, imigrasi bangsa Yahudi harus mendapatkan izin penduduk mayoritas Arab dan melarang imigran Yahudi membeli tanah dari bangsa Arab.

Imigrasi ilegal

Pemusnahan massal dan sistematis bangsa Yahudi di Eropa membuat sejumlah organisasi Yahudi mencoba melakukan imigrasi ilegal. Setidaknya 100.000 orang Yahudi menggunakan 120 kapal dalam 142 pelayaran mencoba menyelundup ke Palestina.

Namun, Inggris yang menempatkan delapan kapal perangnya untuk memblokade perairan di sekitar Palestina berhasil menggagalkan sebagian besar upaya imigrasi ilegal itu.

Para imigran yang gagal masuk Palestina itu kemudian dibawa dan ditahan di kamp pengungsi di Siprus. Beberapa ribu lainnya ditahan di Palestina dan Mauritius.

Sebanyak 50.000 imigran ditahan Inggris dan sekitar 1.600 imigran tewas tenggelam, serta hanya beberapa ribu orang yang berhasil lolos ke Palestina di masa-masa itu.
Salah satu insiden terkenal di masa-masa imigrasi ilegal ini adalah insiden kapal Patria. Pada akhir 1940-an, kebijakan Nazi atas bangsa Yahudi adalah mendeportasi mereka dari Eropa ke tempat lain, belum sampai pada taraf memusnahkan.

Untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari Eropa, Nazi Jerman menyewa tiga kapal di Romania, yaitu Atlantic, Pacific, dan Milos, yang secara total mengangkut 3.600 orang Yahudi.

Kapal-kapal ini meninggalkan Pelabuhan Tulcia, Romania, menuju Palestina. Seperti telah diduga, ketiga kapal ini dicegat kapal-kapal perang Inggris dan penumpangnya dipindahkan ke kapal Patria dan akan dibawa ke Mauritius.

Nah, rencana memindahkan warga Yahudi ke Mauritius ini diketahui Haganah—pasukan paramiliter Yahudi di Palestina. Untuk mencegah pemindahan itu, aktivis Haganah memasang sebuah bom kecil di kapal Patria dan berharap bisa merusak mesin kapal itu sehingga kapal itu akan tertahan di Pelabuhan Haifa.

Celakanya, pada saat 130 penumpang terakhir masuk ke Patria, bom meledak dan menimbulkan lubang besar di lambung kapal. Akibatnya, kapal itu tenggelam dengan cepat dan menewaskan 267 penumpangnya.

Meski di masa Perang Dunia II ini imigrasi Yahudi ke Palestina tidak terlalu mudah, tetapi beberapa ribu orang Yahudi masih bisa masuk ke Palestina dan selamat dari pembantaian yang dilakukan Hitler.