PEMUNGUTAN SUARA / VOTING
Pemungutan
suara / atau Voting adalah pengumpulan suara dari beberapa pendapat untuk menentukan pilihan. Pemungutan suara bagian dari Demokrasi, bahwa setiap orang / anggota berhak untuk menentukan pilihannya. Pemungutan suara dilakukan dengan dua macam cara, Pemungutan suara secara terbuka dan tertutup.
Berbagai
sistem dan perundang-undangan pemilihan diperlukan dalam pelaksanaan
pemi-lihan itu. Keduanya mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Frekuensi: jadwal yang pasti untuk pemilihan sebagaimana terjadi di AS atau pemilihan yang harus diselenggarakan dalam periode waktu yang tetap (terjadi di Inggris)
- Tujuan: untuk memilih anggota badan legislatif lokal, regional dan nasional dan kepala negara; pemilihan-pemilihan juga dapat diselenggarakan untuk menetapkan masalah-masalah kebijakan, melalui referendum, atau pencalonan melalui pemilihan pendahuluan.
- Eligibilitas: pada dasarnya semua negara membatasi hak suara hanya pada warga negara dewasa, kendati negara-negara tersebut berbeda dalam menetapkan kriteria tentang kedewasaan dan kewarganegaraan.
- Registrasi: para pemberi suara harus diregistrasikan pada daftar atau register pemilih; registrasi di AS lebih rumit daripada di negara-negara lain.
- Bobot suara: sampai sebatas mana sistem menghitung satu orang, satu suara, satu nilai itu bergantung pada tipe sistem pemilihan dan ukuran konstituensi.
Kajian
tentang perilaku pengambilan suara mendalami beberapa tahap dan
menggunakan berbagai pendekatan. Berikut ini beberapa model, berasal
dari berbagai latar belakang intelektual, yang meliputi pendekatan
historis, data agregat, sosiologi, identifikasi partai, dan isu
pemungutan suara.
Pertama, pendekatan historis memandang bahwa
seringkali dilupakan kenyataan para pemberi suara disodorkan pada
pemilihan dengan suatu pilihan partai yang tetap: ini semua adalah
produk kekuatan historis yang telah lama ada sebelum lahirnya para
pemilih masa kini. Karya penting dari Lipset dan Rokkan (1967)
menelusuri asal-usul berbagai sistem banyak partai hingga ke
peristiwa-peristiwa bersejarah yang paling penting seperti Reformasi dan
Kontra-Reformasi, revolusi industri, fase-fase awal pembentukan suatu
negara dan revolusi Perancis. Peristiwa-peristiwa formatif ini
menimbulkan berbagai sistem kepartaian yang berbeda satu sama lain
berdasarkan keterikatan pada agama, kepentingan kelas, dan loyalitas
kepada pusat versus pinggiran (periferi). Setelah terjadinya berbagai
peristiwa ini, sebagian partai mampu terus bertahan dalam berbagai
keadaan yang menumbuhkannya. Mereka beradaptasi dengan berbagai
kepentingan dan isu baru dan mensosialisasi para pemberi suara agar
memberikan suara mereka kepada partai-partai itu.
Kedua,
pendekatan data agregat (yang terkumpul) menganalisis data sensus untuk
unit tertentu (entah itu berupa wilayah, anggota-anggota perwakilan atau
daerah pemilihan) untuk membangun korelasi-korelasi antara berbagai
faktor sosial yang dominan di kalangan penduduk dan kekuatan suatu
partai. Pendekatan ini mengalami kemapanan di Amerika Serikat dan
Perancis dalam dasawarsa-dasawarsa awal abad ke-20 dan Andre Siegfried
mempergunakannya untuk menjelaskan pembagian geografis Perancis menjadi
wilayah-wilayah bergaris politik kiri dan kanan. Pendekatan ini akan
lebih bermanfaat bila unit yang dikaji memiliki ciri sosial yang
mencolok (misalnya komunitas pertambangan atau pertanian). Masalahnya
adalah bagaimana memindahkan korelasi data agregat ke korelasi data
individual.
Ketiga, pendekatan sosiologi, yang meng-gunakan
survai-survai sampel untuk mewawancarai para pemberi suara, dirintis di
Amerika Serikat pada tahun 1940-an (Lazarsfeld et. al. 1948) dan
memungkinkan dilakukannya kajian-kajian terhadap para pemberi suara
individu. Karya ini menunjukkan bahwa faktor-faktor latar belakang
sosial seperti kelas, agama dan tempat tinggal mendorong banyak orang
untuk memilih partai Republik atau Demokrat. Pendekatan ini juga berguna
untuk menunjukkan sampai batas mana partai-partai itu mampu membentuk
kelompok-kelompok pendukung yang terpadu. Di Inggris kajian perintis
yang dilakukan oleh Butler dan Stokes (1969) menunjukkan arti pentingnya
kelas sosial dan agama dalam membentuk basis dukungan partai.
Keempat,
pendekatan identifikasi partai, yang dipinjam dari disiplin psikologi,
dikembangkan oleh Angus Campbell (1960) dan kolega-koleganya di
Universitas Michigan. Mereka menemukan bahwa sebagian besar pemberi
suara di Amerika Serikat terikat dengan suatu partai politik; mereka
memiliki identitas partai, yang sering diwarisi dari orang tua mereka,
dan diperkuat dengan pekerjaan, kelas dan lingkungan tetangga mereka.
Kenyataan itu menjadi penguat untuk melestarikan perilaku pemberi suara.
Pendekatan identifikasi partai pernah memiliki pengaruh besar terhadap
kajian-kajian mengenai pemilihan, penelitian antar bangsa dan tipologi
pemilihan yang sedang berkembang. Di Amerika Serikat pada tahun 1970-an
dan 1980-an identifikasi mengalami kemunduran dalam meramalkan perolehan
suara partai. Meskipun para tokoh partai Demokrat memperoleh pedoman
yang jelas mengenai identifikasi terhadap para tokoh partai Republik
mendapatkan gambaran yang jelas tentang identifikasi para Republik, tapi
tetap saja mereka selalu mengalami kekalahan dalam pemilihan presiden.
Konsep ini juga berguna membantu membangun [perolehan] suara bagi suatu
partai.
Kelima, pendekatan voting isu, diilhami oleh Downs (1957)
dan diterapkan oleh Himmelweit dan Jaeger (1985). Pendekatan ini
menekankan arti penting preferensi-preferensi isu bagi pemberi suara.
Menurut Himmelweit, yang menyebutnya dengan istilah consumer model
voting, preferensi-preferensi isu yang dibangkitkan oleh kekuatan
identifikasi partai dan kebiasaan memberikan suara kepada satu partai
tertentu merupakan penentu keputusan dalam memberikan suara. Para
peneliti menspesifikasi tiga syarat bagi isu voting: pemberi suara harus
menyadari isu itu, peduli terhadap isu itu, dan mempersepsi
partai-partai sebagai sisi pandang yang berbeda terhadap isu itu, dengan
satu partai yang mewakili preferensi isu tersebut. Jika identifikasi
partai mengarah pada voting ekspresif, maka pilihan rasional mengarah
pada voting instrumental. Kajian-kajian awal mengenai voting menunjukkan
sikap apatis dan tidak mau tahu dari banyak pemberi suara dan
membuktikan bahwa hanya ada sekelompok pemberi suara minoritas saja yang
memenuhi syarat-syarat isu voting itu. Namun penelitian lebih mutakhir,
yang membolehkan para pemberi suara menyatakan isu-isu penting mereka
sendiri, menemukan bahwa isu voting itu memiliki jangkauan yang lebih
luas.