Dokumen Photo Sejarah Perjuangan Indonesia (RI)
Melawan Penjajahan Jepang dan Belanda
Dalam Merebut kemerdekaan 1945
=============================================================================
Selama abad ke-18, Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(disingkat VOC) memantapkan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan
politik di pulau Jawa setelah runtuhnya Kesultanan Mataram. Perusahaan
dagang Belanda ini telah menjadi kekuatan utama di perdagangan Asia
sejak awal 1600-an, tetapi pada abad ke-18 mulai mengembangkan minat
untuk campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi
meningkatkan kekuasaan mereka pada ekonomi lokal. Namun korupsi,
manajemen yang buruk dan persaingan ketat dari Inggris (East India
Company) mengakibatkan runtuhnya VOC menjelang akhir abad ke-18. Pada
tahun 1796, VOC akhirnya bangkrut dan kemudian dinasionalisasi oleh
pemerintah Belanda. Akibatnya, harta dan milik VOC di Nusantara jatuh ke
tangan mahkota Belanda pada tahun 1800. Namun, ketika Perancis
menduduki Belanda antara tahun 1806 dan 1815, harta tersebut dipindahkan
ke tangan Inggris. Setelah kekalahan Napoleon di Waterloo diputuskan
bahwa sebagian besar wilayah Nusantara kembali ke tangan Belanda.
Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
Dua nama menonjol sebagai arsitek
Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem
Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh
Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal
1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi
pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam
distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin
oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang disebutkan residen - yang
secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor kepada -
Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas
berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi
pertanian. Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya dengan
mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia
memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus
membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka,
kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan
bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java,
salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun,
reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti
meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang
tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa
yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan
tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di
Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan
dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai
perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas
struktur hirarki pribumi ini terdiri dari aristokrasi Jawa, sebelumnya
para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai
penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.
Meningkatnya
dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika
Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah
yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta
Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak
dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan menjadikannya
perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan
kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah
Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh
lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.
Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa
Persaingan dengan para pedagang Inggris,
Perang Napoleon di Eropa dan Perang Jawa mengakibatkan beban finansial
yang besar bagi keuangan Kerajaan Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus
menjadi sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena itu
Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa
(para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam
Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel
yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830. Dengan sistem ini,
Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa.
Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah)
komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini
berarti para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen
mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi
dalam bentuk uang dengan harga yang sudah ditentukan Belanda tanpa
memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda
dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak
hasil panen dari waktu-waktu sebelumnya, dan karena itu mendorong
intervensi top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman
dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku. Sistem Tanam
Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara 1832 dan 1852, sekitar
19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa.
Antara 1860 ke 1866, angka ini bertambah menjadi 33%.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa tidak
didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan
Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa bergabung di
dalamnya. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa direorganisasi -
Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi
ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi
Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi ketika Pemerintah Kolonial
secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para
pengusaha Eropa.
Zaman Liberal Hindia Belanda
Semakin banyak suara-suara terdengar di
Belanda yang menolak Sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan
yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan Sistem
Tanam Paksa ini terjadi karena alasan-alasan kemanusiaan dan ekonomi.
Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen
Belanda dan sukses menghilangkan beberapa karakteristik Sistem Tanam
Paksa, seperti persentase penanaman dan keharusan menggunakan lahan dan
tenaga kerja untuk mengekspor hasil panen. Kelompok liberal ini membuka
jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah Indonesia
dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai
dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial
di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang lebih
memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara
pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun -
walaupun kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi
juga akan mengucur kepada masyarakat lokal - keadaan para petani Jawa
yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih
baik dibandingkan masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad
ketika Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di
Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara
Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk
motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Benda untuk
memperluas wilayah di Nusantara - selain keuntungan keuangan - adalah
untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari
wilayah ini. Pertempuran paling terkenal dan lama selama periode
ekspansi Belanda adalah Perang Aceh yang dimulai di tahun 1873 dan
berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000
orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh.
Integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai
kesatuan politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad
ke-20.
Politik Etis dan Nasionalisme Indonesia
Ketika perbatasan Hindia Belanda mulai
mengambil bentuk menjadi Indonesia saat ini, Ratu Belanda Wilhelmina
membuat pengumuman pada pidato tahunannya di 1901 bahwa kebijakan baru,
Politik Etis, akan diterapkan. Politik Etis (mengakui bahwa Belanda
memiliki hutang budi kepada orang nusantara) bertujuan untuk
meningkatkan standar kehidupan penduduk asli. Cara untuk mencapai tujuan
ini adalah melalui intervensi negara secara langsung dalam kehidupan
(ekonomi), dipromosikan dengan slogan 'irigasi, pendidikan dan
emigrasi'. Namun, pendekatan baru ini tidak membuktikan kesuksesan yang
signifikan dalam meningkatkan standar kehidupan penduduk asli.
Politik Etis menyebabkan efek samping
yang besar. Komponen pendidikan berkontribusi signifikan pada
kebangkitan nasionalisme Indonesia dengan menyediakan alat-alat
intelektual bagi masyarakat Indonesia untuk mengorganisir dan
menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap Pemerintah Kolonial.
Politik Etis memberikan kesempatan, untuk sebagian kecil kaum elit
Indonesia, untuk memahami ide-ide politik Barat mengenai kebebasan dan
demokrasi. Untuk pertama kalinya orang-orang pribumi mulai mengembangkan
kesadaran nasional sebagai 'orang Indonesia'.
Pada 1908, para pelajar di Batavia
mendirikan asosiasi Budi Utomo, kelompok politis pribumi yang pertama.
Peristiwa ini dianggap sebagai saat kelahiran nasionalisme Indonesia.
Hal ini memulai tradisi politik kerja sama antara elit muda Indonesia
dan para pejabat pemerintahan Belanda yang diharapkan untuk membantu
wilayah Hindia Barat mencapai kemerdekaan yang terbatas. Bab selanjutnya
dalam kebangkitan nasionalisme Indonesia adalah pendirian partai
politik pertama berbasis masa, Sarekat Islam di 1911. Pada awalnya,
organisasi ini didirikan untuk mendukung para pengusaha asli untuk
melawan para pengusaha Tionghoa yang mendominasi ekonomi lokal namum
kemudian mengembangkan fokusnya dan mengembangkan kedasaran politik
populer dengan tendensi subversif. Gerakan-gerakan penting lainnya
yang menyebabkan terbukanya pemikiran politik pribumi adalah
Muhammadiyah, gerakan reformis sosio-religius Islam yang didirikan di
tahun 1912 dan Asosiasi Sosial Demokrat Hindia, gerakan komunis yang
didirikan tahun 1914 yang menyebarkan ide-ide Marxisme di Hindia
Belanda. Perpecahan internal di gerakan ini kemudian mendorong pendirian
Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1920.
Pada awalnya, Pemerintah Kolonial
Belanda mengizinkan pendirian gerakan-gerakan politik lokal namun ketika
ideologi Indonesia diradikalisasi di tahun 1920an (seperti yang tampak
dalam pemberontakan-pemberontakan komunis di Jawa Barat dan Sumatra
Barat di tahun 1926 dan 1927) Pemerintah Belanda mengubah tindakannya.
Sebuah rezim yang relatif toleran digantikan dengan rezim represif yang
menekan semua tindakan yang diduga subversif. Rezim represif ini hanya
memperparah keadaan dengan meradikalisasi seluruh gerakan nasionalis
Indonesia. Sebagian dari para nasionalis ini mendirikan Partai
Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 1927 sebagai sebuah reaksi pada
rezim yang represif. Tujuannya adalah mencapai kemerdekaan penuh untuk
Indonesia.
Peristiwa penting lainnya bagi
nasionalisme Indonesia adalah Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Pada
kongres yang dihadiri organisasi-organisasi pemuda ini, tiga idealisme
diproklamasikan, menyatakan diri memiliki satu tanah air, satu bangsa
dan satu bahasa. Tujuan utama dari kongres ini adalah mendorong
persatuan antara kaum muda Indonesia. Di dalam kongres ini lagu yang
kemudian menjadi lagu kebangsaan nasional (Indonesia Raya)
dikumandangkan dan bendera nasional di masa kemerdekaan (merah-putih)
dikibarkan untuk pertama kalinya. Pemerintah Kolonial Belanda bertindak
dengan melakukan aksi-aksi penekanan. Para pemimpin nasionalis muda,
seperti Sukarno
(yang menjadi presiden pertama Indonesia di tahun 1945) dan Mohammad
Hatta (wakil presiden Indonesia yang pertama) ditangkap dan diasingkan.
Invasi Jepang ke Hindia Belanda
Pihak Belanda cukup kuat untuk mencegah
nasionalisme Indonesia dengan cara menangkap para pemimpinnya dan
menekan organisasi-organisasi nasionalis namun mereka tidak pernah bisa
menghapuskan sentimen nasionalisme. Orang-orang Indonesia, di sisi lain,
tidak memiliki kekuatan untuk bersaing dengan para pemimpin kolonialis
dan karenanya membutuhkan bantuan-bantan dari luar untuk menghancurkan
sistem kolonial. Di Maret 1942, orang-orang Jepang, dibakar semangatnya
oleh keinginan akan minyak, menyediakan bantuan tersebut dengan
menguasai Hindia Belanda. Walaupun pada awalnya disambut sebagai
pembebas oleh penduduk Indonesia, mereka segera mengalami kesengsaraan
di bawah penjajahan Jepang: kekurangan makanan, pakaian dan obat dan
juga kerja paksa di bawah kondisi yang menyiksa. Kurangnya makanan
terjadi terutama disebabkan karena administrasi yang tidak kompeten,
mengubah Jawa menjadi sebuah pulau penuh kelaparan. Orang-orang
Indonesia bekerja sebagai buruh paksa (disebut romusha) ditempatkan untuk bekerja dalam proyek-proyek yang membutuhkan banyak tenaga kerja di Jawa.
Ketika Jepang mengambil alih para
pejabat Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp tawanan dan digantikan oleh
orang-orang Indonesia untuk mengerjakan tugas-tugas kepemerintahan.
Orang-orang Jepang mendidik, melatih dan mempersenjatai banyak kaum muda
Indonesia dan memberikan suara politik kepada para pemimpin nasionalis.
Ini memampukan para pemimpin nasionalis untuk mempersiapkan masa depan
bangsa Indonesia yang merdeka. Pada bulan-bulan terakhir sebelum
penyerahan diri Jepang, yang secara efektif mengakhiri Perang Dunia II,
pihak Jepang memberikan dukungan penuh pada gerakan nasionalis
Indonesia. Hancurnya kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial Pemerintah
Kolonial Belanda melahirkan sebuah era baru. Pada 17 Agustus 1945,
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dua hari
setelah penjatuhan bom atom di Nagasaki.